Jumat, 01 Juni 2012

Bahasa Hati



" Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah urusanku, dan lepaskanlah
kekakuan lidahku supaya mereka mengerti perkataanku” (QS Thoha 25-28).



suatu waktu...
"Kak..mau dibuatin apa? Pindang atau ikan goreng?". kata istriku
"Apapun.... dek". kataku

lain waktu...
"Kak...mau dibuatin teh?". kata istriku
"Basing..." jawabku

lain hari...
"Kak...mau minum es kopyor?". kata istri
"boleh dek...". jawabku lagi

Aku jawab "basing" dan "boleh", karena aku mau memakan apapun yang disediakan istriku. Dan ku harap ia senang hati karena apapun yang disajikan ku lahap dengan habis, walau badanku sedikit melebar dan karena masakan istri enak dan maknyos.., he

Ternyata ini diprotes oleh si pujaan hati,
"jawab nya sama..basing atau boleh". kata istri sambil tersenyum
"minta donk sesekali, agar adek masaknya sesuai permintaan kakak..". sahut nya lagi.. :)

Baru aku sadar, bahwa istri pun berharap para suami meminta sesuatu sebelum disajikan.Sehingga ia masak dengan penuh bangga dan sepenuh jiwa, hehe.

Istri yang biasa bicara blak-blakan dan aku yang terdidik berbicara kiasan. Kalaulah bertahan dengan cara masing-masing, maka tak mungkin bertemu solusi terbaik. Maka "bicaralah dengan bahasa yang sesuai dengan kaum yang kita hadapi". Ini mungkin salah satu aplikasi Mutual Understanding dalam kehidupan. Dalam berumahtangga yang sudah seiya sekata pun butuh saling mengerti dalam hal remeh temeh, apalagi dalam bermasyarakat.

Kalau hujan lebat belum lah turun
Segeralah berteduh agar tak basah
Kalau lah masyarakat mau rukun
Segeralah pasang wajah yang ramah

agar dua pantun seiring...

Burung merpati terbang tinggi
Turun kesawah hinggap dijerami
Bicaralah engkau dengan bahasa hati
Hingga cinta kita semakin bersemi

Wassalam
Palembang, 1 Juni 2012

Kamis, 12 April 2012

Sajak-sajak Wesel Untuk Ummi (Hamid Jabbar)




Sebelum awan luruh jadi duri, aku harus pergi.
Entah kemana, memang, ya kalau pun
aku tetap disini, begini dan selalu saja begini:
awan tetap tidak bias dihalang, ya Ummi.

Tinggal atau pergi, awan begitu pasti
(cepat atau lambat)
‘kan membanjiri luka kekang ini,
o luka kekang ini, ya Ummi.

Maka lepaslah bujang-pincangmu ini, Ummi, lepaslah.
Bukan mengelupas kecintaan ini, ya Ummi bukan itu soalnya.
Ada yang harus segera dijelang: sawah dan persemaian terlunta-lunta, menunggu dan resah.

(Kita sama-sama maklum lumbung di depan anjung
berbulan berbilang tahun mengandung duka:
ada arang di dinding dan kelam terkaca, racun menuba,
ah Ummi, kita punya rona!)

Ummi, lepaslah anakmu meneruka kembali jalan kembali dengan ikhlas, ya Ummi,
bekalkan anakmu dengan do’a khusyukmu di kalbu:
merambah menyemai tumbuh member arti, ya Ummi.

(Dan bila rindu Ummi tidak tertahankan,
sebut hamid pelan-pelan dalam do’a Ummi
pelan-pelan hingga padaku rindu itu pun tidak tertahankan
ah Ummi bagaimana caranya memendam kecengengan…)

Seperti kisah-kisah zaman dahulu,
”Karatau madang di hulu, berbuah berguna belum.
Merantau bujang dahulu, di rumah berguna belum.”
Dan lindap terasa matahari di ubun-ubunku. Harapan menderu

Seperti kisah-kisah zaman dahulu,
nasihat-nasihat Ummi berpantun bersati-sati,
suara bunda sepanjang masa, sederhana tanpaknya,
namun gemanya sampai kelekuk luka-luka kembaraku…

Dengan Bismillah Ummi mulai semoga dibuka Ilahi Rabbi hati anakku yang terkunci mengamalkan yang berarti
Manusia makhluk tertinggi diberi akan diberi hati
Sehala sesuatu harus dipikiri piker itu pelita hati
Teliti sebelum memulai buruk baik ‘kan mengikuti
Lihatlah segala segi agar tak menyesal nanti
Sedetik tak disadar-hayati berjuta tangis amat nyeri

"Pikir renungi semua ini jadi pedoman sepanjang hari
Camkan nak, camkan buah hati
Agar selamat dilindungi Ilahi

Sembahlah Allah, sembahlah
Hanya Allah, padaNya-lah berpulang segala sembah
Jangan duakan, jangan tigakan biar dipaksa biar ditekan
Itulah dosa tak kenal ampunan
Dunia tak lama ‘kan dihuni nikmatilah rahmad Ilahi
Selagi hidup dibumi ini haruslah kita kasih mengasihi
Jauhkan benci membenci karena benci adalah duri
Camkan nak, camkan buah hati camkan segala nasihat ibu"

Duh Ummi, terbayang engkau du jenjang Rumah Gadang,
sendiri saat petang tertatih dating, berputih mata,
sendiri dalam genangan mengaca, gelisah menua dalam derita.
Duh Ummi, aku masih saja berjalan dan kehilangan jalan dalam sekian jalan,
menggapai tak sampai, meratap nyaris kehilangan derap.

Laut sakti, rantau bertuah, mimpi terpuruk.
Samar membenam, tangkap melepas iman melapuk.

Duh Ummi, akulah "bujang gadang karengkang" yang terlelap: mengerang.
Duh Ummi, akulah pendekar kehilangan medan dan kena tembakan: luka-luka dalam lakuku.
Duh Ummi, akulah sang penggigil gugup merangkum kata dan makna: ganjil dan kerdil.
Duh Ummi, akulah anakmu yang menuliskan tangis tentang mu ya Ummi:

Berjuta menggelembung dalam rahimmu
Antara sayapnya kelam dan berjuta mimpi
Darah mengalir nanah membarah denyut nyeri
Keluh membanjir, membanjir dan membanjir
Dan desah
Al-Fatihah.......

Demikianlah, ya Ummi, semua ini diam-diam menyelinap dalam sajak-sajakku.
Mereka kutampung dengan rasa tak berdaya serta senyum luka-luka, ya Ummi.
Tetapi ku rasa ada yang lebih daripada yang kutahu
dan tak ada kata-kata yang menampung segalanya.

Demikanlah, ya Ummi, kukirim ini diam-diam kedalam tidur dan mimpimu,
kedalam jaga dan sunyimu, biarlah,
ah semoga mereka menjadi sesuatu yang lebih dari pada senyum dan luka-luka kita,
ya Ummi….

Padang, 1974-1978
Hamid Jabbar

Al Quran dan Secangkir Teh

Uda Defri
Palembang, 22 Sya'ban 1431 H

Kuperhatikan kertas-kertas yang mendapat kehormatan menjadi sandaran tinta. Tinta berbangga menjadi bagian pembentuk ukiran kata-kata nan bersajak indah penuh rasa. Benang tak kalah bahagia karena telah mampu mengikat lembaran berita-berita, peringatan dan kabar gembira Yang Agung dalam bentuk mushaf. Ku amati lebih seksama, ada 3 tali pembatas berwarna, merah, hijau, kuning. Warna itu ibarat aturan dalam menempuh kehidupan, haram, makruh, sunnah yang pada dasarnya mubah. Maka mushafku dibungkus, maka lengkap lah ia sebagai mushaf yang terindah sebagai milikku. Upss..., ada satu yang terlupa, gantungan kunci “jam gadang emas” pemberian saudara “kembar” ku, yang dibelinya di Kota Wisata Bukittinggi. Sebenarnya aku sedikit tersinggung bercampur malu diberi gantungan kunci ini, karena aku sebagai orang padang “asli” belum pernah menemukan gantungan kunci jenis ini, kok saudara kembarku yang jarang mudik bisa menemukannya ya...? He... yang pasti semua nya sudah menjadi ketentuan Robb ku. Thanks bro..

Ku coba setiap hari menikmati sajian indah dari mushafku. Dalam alunan nada-nada indah penggugah iman dari-Nya, yang tertuang dalam dalam mushaf syamil beberapa tahun terakhir selalu menemaniku. Sering aku berdua saja dengan mushaf ini, untuk menemani aku bercengkrama dengannya maka aku persiapkan secangkir teh dipadu dengan gula secukupnya. Tahukah kalian, nikmatnya sungguh terasa, kenyamanan mataku, indahnya kata-kata-Nya, segarmya dadaku ditingkahi nikmatnya teh manis buatan tanganku sendiri (afwan agak jujur, he..). Mampu ku berlama-lama dengan “mereka” berdua, tak terasa halaman demi halaman, lembar demi lembar, bahkan jika susana lagi bersahabat, juzz demi juzz pun terlewati.

Tahukah kalian teh apa yang menemaniku? Cuman teh biasa, telah menemani ku sejak kecil yang bermerek “bendera”. Warnanya merah merona, aromanya membuat ku terpesona, rasanya..hmm..tak terkira. (afwan bukan iklan, jadi bagi produsen teh yang lain jangan tersinggung, he).
  



Dalam meningkatkan ibadah yang kita persembahkan, penting lah adanya stimulan untuk membangkitkan semangat kita. Mungkin hal-hal yang kecil yang biasa kita lakukan, minum teh, sambil duduk di atas pohon atau hal-hal yang luar biasa yang biasa kita perbuat. Mari kita cari cambukan pelecut semangat dalam ber ubudiyah pada-Nya, ibu, bapak, saudara, bahkan binaan kita. Kita berharap Ramadhan kali ini bisa meningkat rasa candu dalam beribadah pada-Nya
Kita sadar, kita yakin, hidup ini hanya untuk beribadah pada-Nya


“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(Adz Dzariya: 56)

Durian Nan Manis


Subhaanallah..Siang tadi Aku menyaksikan Jelang Siang di suatu Stasiun Televisi Swasta, ditayangkan aneka pengolahan durian jadi berbagai cake. Tayangan 5 menit yang cukup mengundang selera, kapan ya bisa makan durian?


Allah memang Maha Berkehendak dan Maha Mengethaui....
Kaunuhu Muriiidan wa ‘Aliiman.......


Allah mengkehendaki ku untuk makan durian siang ini, sekitar jam 2 Kak Dwi membawa sebuah sebuah durian yang dibelinya di Jl. Demang Lebar Daun. Spontan saya memujiNya, Subhaanallah...Pucuk dicinta ulam pun tiba..

Kutanya, beli dimana kak?. Didepan..., kata Kak Dwi.

Harganya?, ujarku. 30 ribu satu, ini dari Tebing Tinggi, jawab Kak Dwi

Mahal juga ya? (untung gratis..hehe), aku berguman sendiri.

Kami santaplah Si Buah Durian, dagingnya kuning rasanya manis, durinya lancip nan berlekuk tajam. Buah ini terbagi enam bidang buah, yang berisi 3 sampai 5 biji perbidang, bijinya kecil-kecil sehingga dagingnya tebal dan ranum. Bisa dibayangkan, sangat menggiurkan dan mengundang selera para penikmatnya.

Ahh...jadi aku ingat uni dan nenek di kampuang nan jauah dimato, yang juga penikmat (pemangsa, red.) buah durian yang tak kenal batas, begitu juga hal nya aku. Memang buah durian ini penuh kontroversi, banyak yang menyenangi dan banyak yang membeci bahkan sekedar baunya yang bagi saya sungguh harum sampai ke hati, he.

Maka nikmat Allah yang mana lagi yang engkau dustakan?

Rizki dari Allah memang tak disangka dan tidak diduga. Panas terik kan berganti hujan, malampun kan berganti siang, mentari pun kan berganti bulan dan bintang-bintang. Satu yang perlu kita ingat, KetentuanNya kan berpihak pada harapan kita selama kita yakin padaNya. Kun Fayakun nya Allah tak akan bisa yang menghalangi. Belum tentu baik menurut kita tepat bagi kita, maka kita mesti tawakal dalam menjalani semua takdirNya.

Wassalam...

Uda Defri-Palembang 06 Okt 2010